Stereotipe, Diskriminasi, dan Ketimpangan Gender
Stereotipe Gender dalam Sinetron
Stereotipe adalah citra yang melekat atas sekelompok orang. Kita semua mempunyai stereotipe atitudinal ––tentang kelompok bangsa, kelompok agama, kelompok ras, atau barangkali tentang kaum penjahat, kaum tuna susila, guru, atau tukang pipa. Jika kita memiliki kesan melekat ini, kita seringkali, bila berjumpa dengan salah seorang anggota kelompok tadi, melihat orang itu terutama sebagai anggota kelompok tersebut. Sebagai permulaan, ini mungkin memberikan orientasi yang membantu. Tetapi, ini dapat menimbulkan masalah bila kita kemudian menganggap semua karakteristik yang melekat pada kelompok itu berlaku juga untuk orang itu tanpa menyadari bahwa setiap orang adalah pribadi yang khas (De Vito, 1996).
Stereotipe
negatif sangat terlihat dalam perfilman kita. Karena kebanyakan sinema kita
merupakan pengabdian atau reproduksi dari penstereotipan kaum pria terhadap
peran tradisional kaum wanita. Pria dan wanita digambarkan sebagai sesuatu yang
mempunyai kegiatan yang berbeda dan memutuskan hal-hal yang berbeda pula.
Wanita digambarkan sebagai manusia yang selalu peduli dengan rumah tangga dan
penampilan fisik mereka, sementara kepedulian pria adalah pekerjaan, bisnis,
dan sebagainya. Bahkan dalam beberapa sinema perempuan juga digambarkan sebagai
sosok yang jahat, bengis dan jauh dari kelembutan.
Belakangan ini muncul stereotipe wanita dalam sinetron
sebagai mahluk yang judes dan sadis terutama pada tayangan-tayangan yang
menunjukkan hedonisme. Stereotipe tersebut dapat di lihat dalam hampir semua
sinetron yang mempunyai jam tayang utama. Mulai seorang ibu yang jahat terhadap
anaknya hingga remaja perempuan yang egois, judes dan licik. Bahkan peran pembantu
perempuan yang dulunya banyak digambarkan sebagai perempuan penurut terhadap majikan,
kini banyak digambarkan sebagai perempuan yang licik, jahat, bersekongkol
dengan majikan untuk menyakiti perempuan lain. Bentuk komunikasi verbal dan
nonverbal yang dihadirkan sinetron
semakin mempertegas stereotipe ini. Dalam berbagai sinetron, cerita-cerita
disajikan dalam kerangka besar yang sama; tentang cinta dan persoalan keluarga,
dengan plot yang berliku-liku. Para tokoh dalam sinetron dianggap mewakili
impian kaum perempuan terutama para ibu rumah tangga karena mereka selalu
ditampilkan dalam keadaan cantik, dengan busana yang indah-indah, dalam
rumah-rumah yang megah. Artinya, ketertarikan terhadap sinetron disebabkan
karena konstruksi-konstruksi atas citra perempuan yang ditampilkan, yaitu
cantik, kaya dan hidup bahagia. Dari melodrama ini para penonton belajar bahwa
kecantikan feminin bukanlah sesuatu yang melekat sejak lahir, melainkan bisa
diraih. Pada akhirnya, dengan konstruksi yang diciptakan tersebut, perempuan
justru menemukan ruang untuk melihat feminitas sebagai sebentuk identitas yang
terus berubah (shifting identity), bisa dilekatkan dan dilepaskan kapan saja
mereka menginginkannya. Perempuan,
melalui penampilan mewah sinetron juga mendapatkan kesempatan untuk merasakan
aktivitas dan kompetensi konsumsi yang eksklusif.
Kemudian, pada beberapa kasus, terlihat kecenderungan bahwa
ada efek sinetron yang ditampilkan secara berlebihan untuk lebih bisa memancing
emosi para penonton (misalnya adegan sadis dan kejam yang dilakukan oleh ibu
mertua kepada menantu perempuannya). Adegan-adegan ini ditampilkan dengan
asumsi bahwa perempuan—yang dilekatkan dengan stereotip emosional—suka dengan adegan-adegan
yang melankolis.
Tema seksualitas perempuan juga bukan hal baru di dalam
dunia film. Kisah pelacuran dan perdagangan perempuan sebenarnya sudah muncul
dalam perfilman Indonesia sejak beberapa dekade lalu. Namun kini hal itu justru
menjadi suatu ikon satu paket dengan berbagai sifat buruk perempuan yang muncul
di layar kaca. Pilihan seksualitas telah lama menjadi kajian para pemikir
karena seksualitas berhubungan dengan identitas individu dan bagaimana
masyarakat menerima anggotanya. Masyarakat cenderung menundukkan anggotanya
agar patuh pada norma-norma yang terbentuk di masyarakat melalui sanksi sosial
yang berhubungan dengan suatu tindakan anggota masyarakat yang dipandang
menyimpang dari yang umum.
Maka muncullah sinetron “Bunga Malam”, “Kupu-kupu Malam” dan
sebagainya. Seksualitas remaja perempuan sebagai akibat dari konstruksi budaya
modern telah memunculkan beragam pandangan, terutama terhadap remaja perempuan
ibu kota. Tapi dalam beberapa sinetron, hal ini sepertinya merupakan sesuatu
yang lumrah. Lagi-lagi kebanyakan perempuan tetap menjadi korban, sebagai pihak
yang hamil, dan kemudian menerima berbagai konsekuensi dari konstruksi sosial
yang dibangun berdasarkan liberalisme kehidupan maka kini.
Dalam kajian budaya, seks dan gender dilihat sebagai konstruksi-konstruksi sosial yang secara intrinsik terimplikasi dalam persoalan-persoalan representasi. Seks dan gender lebih merupakan persoalan kultural ketimbang alam. Meski ada juga pemikiran feminis yang menekankan pada perbedaan esensial antara laki-laki dan perempuan, kajian budaya cenderung mengeksplorasi gagasan tentang karakter identitas seksual yang spesifik secara historis, tidak stabil, plastis dan bisa berubah. Tapi bukan berarti kita bisa dengan gampang membuang identitas seksual kita dan menggantinya dengan yang lain, karena meskipun seks adalah suatu konstruksi sosial, ia adalah konstruksi sosial yang mengkonstitusi kita melalui tekanan-tekanan kekuasaan dan identifikasi-identifikasi dalam psikis kita. Dengan kata lain, konstruksi sosial adalah sesuatu yang diregulasi dan memiliki konsekuensi (Kunci, 2005).
Dalam kajian budaya, seks dan gender dilihat sebagai konstruksi-konstruksi sosial yang secara intrinsik terimplikasi dalam persoalan-persoalan representasi. Seks dan gender lebih merupakan persoalan kultural ketimbang alam. Meski ada juga pemikiran feminis yang menekankan pada perbedaan esensial antara laki-laki dan perempuan, kajian budaya cenderung mengeksplorasi gagasan tentang karakter identitas seksual yang spesifik secara historis, tidak stabil, plastis dan bisa berubah. Tapi bukan berarti kita bisa dengan gampang membuang identitas seksual kita dan menggantinya dengan yang lain, karena meskipun seks adalah suatu konstruksi sosial, ia adalah konstruksi sosial yang mengkonstitusi kita melalui tekanan-tekanan kekuasaan dan identifikasi-identifikasi dalam psikis kita. Dengan kata lain, konstruksi sosial adalah sesuatu yang diregulasi dan memiliki konsekuensi (Kunci, 2005).
Karena identitas
seksual dipandang bukan merupakan masalah esensi biologis yang universal
melainkan persoalan bagaimana feminitas dan maskulinitas dibicarakan, maka
feminisme dan kajian budaya seharusnya memberi perhatian pada masalah-masalah
seks dan representasi. Umpamanya, kajian budaya telah mempelajari representasi
perempuan dalam budaya populer dan dalam sinetron, dan mendapatkan bahwa
perempuan di seluruh dunia terkonstitusi sebagai kelamin yang kedua,
tersubordinasi di bawah lelaki. Dengan kata lain, posisi-posisi subjek yang
dikonstruksi untuk perempuan yang menempatkan mereka dalam tatanan kerja
patriarkis domestifikasi dan beautification atau tatanan kerja yang menjadikan
mereka sebagai ibu dan berkarir serta mampu mengeksplorasi individualitasnya
dan tampil menarik.
Bila kita rajin melihat tayangan televisi pada jam malam, maka akan terlihat sekali betapa eksploitasi tubuh perempuan masih menjadi komoditas penting dalam perfilman kita. Namun belakangan ini dikemas dalam bentuk komedi sebagai kedok atas seksualitas yang ditonjolkan. Melihat tayangan-tayangan tersebut sebenarnya penonton tidak diajak untuk tertawa, melainkan bagaimana menikmati tubuh perempuan-perempuan yang menjadi pemeran dalam sinetron tersebut. Komedi “Ayam Jago” di Lativi, Komedi Tengah Malam di Trans TV yang terbagi dalam beberapa bagian seperti “Ratu Rimba”, “Penjaga Pantai”, “Angels” adalah beberapa contoh yang mungkin layak dikaji kekomediannya. Alih-alih ingin membuat penonton tertawa, tetapi justru membuat jantung penonton (laki-laki) mungkin berdebar-debar menyaksikan komedi (komersialisasi bodi) dalam tayangan tersebut.
Bila kita rajin melihat tayangan televisi pada jam malam, maka akan terlihat sekali betapa eksploitasi tubuh perempuan masih menjadi komoditas penting dalam perfilman kita. Namun belakangan ini dikemas dalam bentuk komedi sebagai kedok atas seksualitas yang ditonjolkan. Melihat tayangan-tayangan tersebut sebenarnya penonton tidak diajak untuk tertawa, melainkan bagaimana menikmati tubuh perempuan-perempuan yang menjadi pemeran dalam sinetron tersebut. Komedi “Ayam Jago” di Lativi, Komedi Tengah Malam di Trans TV yang terbagi dalam beberapa bagian seperti “Ratu Rimba”, “Penjaga Pantai”, “Angels” adalah beberapa contoh yang mungkin layak dikaji kekomediannya. Alih-alih ingin membuat penonton tertawa, tetapi justru membuat jantung penonton (laki-laki) mungkin berdebar-debar menyaksikan komedi (komersialisasi bodi) dalam tayangan tersebut.
Belakangan ini seiring dengan membludaknya sinetron-sinetron
mistik di televisi, lagi-lagi perempuan menjadi ikon negatif dalam tayangan mistik.
Maka muncullah stereotipe bahwa kebanyakan mahluk-mahluk halus jahat seperti
jin dan setan kebanyakan berjenis kelamin perempuan. Mitos Nyi Roro Kidul dan
Nyi Blorong sebagai sosok “perempuan” dari alam gaib yang sudah terpatri di
benak masyarakat Indonesia (Jawa) sejak berabad-abad silam sepertinya mendasari
munculnya siluman perempuan baru belakangan ini. Maka muncullah stereotipe
bahwa perempuan selain judes, jahat, cerewet, licik, ngeseks, buka-bukakan,
juga sebagai makhluk yang gila pujaan.
Di sini pujaan digambarkan secara lebih ekstrem dalam
tayangan mistik, karena lebih kepada pujaan berupa materi atau persembahan. Ini
adalah realitas, dan sudah menjadi sebuah stereotipe di kalangan penggemar
sinetron. Stereotipe perempuan yang jelas (yang dibuat laki-laki) menjadikan
tayangan perempuan dalam sinetron yang ditampilkan sekarang inipun bisa
dikatakan belum mendidik masyarakat dan belum bisa menjadi tuntunan. Pasalnya,
perempuan dalam sinetron masih menjadi objek dan laki-lakilah yang kemudian mengkonstruksinya
menjadi stereotype
Diskriminasi
Gender dalam Sinetron
Dari
kajian yang pernah ada tentang film-film yang diproduksi pada masa sebelum
tahun 1970-an itu tampaknya peran perempuan digambarkan hanya sebagai pelengkap
dalam keseluruhan cerita. Kalaupun peran perempuan menjadi peran utama, peran
itu berkaitan dengan pandangan bahwa posisi perempuan ada di lingkup domestik,
sebagai ibu, istri, kekasih atau anak perempuan yang penurut. Sebaliknya, pada
laki-laki peran yang ditampilkan selalu berkaitan dengan aktivitas di lingkup
publik, pengambil dan penghasil keputusan yang masuk akal. Kelas sosial
menyebabkan perbedaan masalah dan strategi perempuan menghadapi hidup. Meskipun
perempuan kelas menengah juga mengalami subordinasi dari laki-laki pada kelas
sosial yang sama, perempuan kelas sosial yang lebih bawah bisa mengalami
subordinasi dari perempuan kelas sosial yang lebih tinggi dan laki-laki dari
kelas sosial yang sama dengan dia. Contoh paling dekat dengan kita adalah para
pekerja rumah tangga (Aripurnami dalam Oey-Gardiner, 1996).
Meskipun hampir setiap sinetron menyatakan bahwa kisah yang disajikan hanyalah fiksi belaka. Tapi tak terlalu sulit kiranya bagi penonton untuk melihat bahwa konflik yang diangkat dalam cerita tersebut, disadari atau tidak, banyak bersumber pada berbagai peristiwa konkrit dalam kehidupan sehari-hari. Seperti, perceraian, pelecehan seksual, jatuh cinta, hingga pembunuhan, manipulasi dan korupsi, ketidakadilan dalam sistem hukum, penindasan kelas buruh dan sebagainya.
Dipandang dari sisi lain, persoalan-persoalan konkrit di masyarakat memang tetap menyelinap dalam jalinan cerita-cerita sinetron. Tak perduli dengan tujuan sang penulis skenario, misalnya, yang secara sadar hendak menciptakan karya fiksi. Namun sinetron bukan semata-mata cermin dari persoalan tersebut. Sinetron bukan pula merupakan realitas kedua setelah apa yang disebut dengan realitas pertama, yakni peristiwa di masyarakat itu sendiri, berlangsung. Sebaliknya, persinggungan jalinan kisah sinetron dengan peristiwa konkrit kehidupan sehari-hari, membuka jalan yang lebih lebar bagi sosialisasi nilai-nilai dominan. Menjadi jelaslah bahwa sinetron bukan bagian dari realitas masyarakat itu sendiri.
Meskipun hampir setiap sinetron menyatakan bahwa kisah yang disajikan hanyalah fiksi belaka. Tapi tak terlalu sulit kiranya bagi penonton untuk melihat bahwa konflik yang diangkat dalam cerita tersebut, disadari atau tidak, banyak bersumber pada berbagai peristiwa konkrit dalam kehidupan sehari-hari. Seperti, perceraian, pelecehan seksual, jatuh cinta, hingga pembunuhan, manipulasi dan korupsi, ketidakadilan dalam sistem hukum, penindasan kelas buruh dan sebagainya.
Dipandang dari sisi lain, persoalan-persoalan konkrit di masyarakat memang tetap menyelinap dalam jalinan cerita-cerita sinetron. Tak perduli dengan tujuan sang penulis skenario, misalnya, yang secara sadar hendak menciptakan karya fiksi. Namun sinetron bukan semata-mata cermin dari persoalan tersebut. Sinetron bukan pula merupakan realitas kedua setelah apa yang disebut dengan realitas pertama, yakni peristiwa di masyarakat itu sendiri, berlangsung. Sebaliknya, persinggungan jalinan kisah sinetron dengan peristiwa konkrit kehidupan sehari-hari, membuka jalan yang lebih lebar bagi sosialisasi nilai-nilai dominan. Menjadi jelaslah bahwa sinetron bukan bagian dari realitas masyarakat itu sendiri.
Yakni ketika kita sadari bahwa langsung atau tidak langsung,
sinetron telah ikut membentuk pola pikir masyarakat. Berbagai citra ideal
tentang sosok perempuan – bertanggung jawab dalam urusan domestik, pengutamaan
sifat keibuan, tawakal dan pasrah pada keadaan, hingga mengakui keunggulan
laki-laki sebagai kodrat – seperti diusung oleh alur cerita sinetron tersebut,
merupakan turunan dari nilai-nilai patriarki yang mau mengatakan bahwa pada
dasarnya dunia ini adalah milik laki-laki.
Lalu kenapa perempuan kabanyakan menjadi tokoh utama dalam
sinetron Indonesia? Kesan selintas disebutkan bahwa peminat terbanyak sinetron
Indonesia adalah perempuan. Walaupun kisah dalam sinetron adalah rekaan atau
fiktif, namun hal itu mencerminkan serpihan-serpihan gambaran sebuah realitas
hidup. Untuk memperoleh citra utuh sebuah realitas, maka tugas penonton untuk
menyatukan serpihan tersebut. Persoalannya, tidak semua penonton mempunyai
bakat khusus menyatukan berbagai serpihan tadi. Sejumlah sinetron kerap
menampilkan perempuan sebagai sosok yang bermakna negatif. Dari kebanyakan
sinetron, perempuan memang tampil sebagai profil yang buruk: perempuan
penggoda, istri yang merangsang suaminya untuk korupsi, remaja puteri yang
menjadi perek (perempuan eksperimen) karena broken home, mertua nyinyir yang
membuat menantunya menderita, ibu kandung cerewet yang membuat anaknya menjadi
beradalan di luar rumah, dan seterusnya.
Tetapi itulah kenyataan sinetron kita dalam menggambarkan perempuan, selalu saja terlunta-lunta, tidak berdaya dan dipermainkan nasib. Seolah perempuan Indonesia ini begitu bodoh, tidak mampu berbuat apapun dan kemudian ‘diperparah’ dengan haus harta (yang digambarkan dengan perebutan).
Itulah gambaran buram perempuan dalam sinetron, termasuk
yang bernuansa relijius sekalipun. Karena perempuan selalu digambarkan
stereotipe dan dalam nuansa ekstrim baik kanan (untuk menggambarkan perempuan
hebat namun kebablasan dalam bersikap baik kepada laki-laki ataupun pada
perempuan) atau kiri (perempuan yang bodoh, naif dan sangat tidak berdaya).
Mungkinkah kisah ini yang laku dan mendapat rating tinggi? Pertanyaan itu
muncul dalam benak sejumlah pemerhati persinemaan kita.
Pertanyaan yang wajar dilontarkan, karena pengelola televisi
memang selalu berkilah demikian. Karenanya sekalipun seringkali mengundang
kritik toh dalam kenyataan cerita-cerita dengan alur demikian yang dibuat dan
ditayangkan.Tetapi kalau dirunut lebih jauh, apakah fakta ini bukan lebih tepat
jika disebut sebagai akibat kultur patriarkhi yang masih membingkai sebagian
besar benak masyarakat kita terlebih para pembuat sinetron yang mewarnai
kisah-kisah tersebut. Mulai penulis skenario, sutradara dan juga sangat mungkin
pemainnya yang belum bisa kritis memilih peran karena memang belum tahu bila
sebagai perempuan seharusnya ia menunjukkan keberdayaan, kemandiriannya?
Di satu sisi perempuan dianggap sebagai istri dan ibu, yang
kemudian diartikan sebagai orang rumahan, sehingga bila mereka mencari nafkah,
hanya dianggap sebagai penambah pendapatan keluarga. Perempuan juga dipandang
hanya bisa menangis, terlalu banyak bicara dan kurang panjang akal. Di sisi
lain laki-laki dianggap sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah serta
pengambil keputusan. Oleh karenanya laki-laki selalu dianggap orang yang
panjang akal, tenang dalam menghadapi masalah, tegar dan tidak menangis.
Gambaran mengenai perempuan dan laki-laki dalam sinetron Indonesia akan tetap
sama sebagaimana yang dapat kita lihat selama ini pada sebagian besar sinetron
yang tiap malam menghiasi layar kaca kita.
Sepertinya ada kesan tidak peduli dari para pembuat sinetron atas penampilan karakter perempuan yang positif. Mungkin bagi mereka sinetron adalah barang dagangan, karena itu dibuat dengan biaya semurah mungkin, harus laku dijual, dan tidak peduli dengan segi artistik dan alur cerita. Dan yang kelihatannya cukup laku adalah adegan-adegan yang bisa membuat perempuan haru dan menitikkan air mata seperti kejamnya ibu tiri, sadisnya majikan perempuan terhadap pembantu, ibu yang menelantarkan anaknya dan sebagainya. Sementara itu laki-laki lebih menyukai adegan buka-bukaan dari tubuh perempuan.
Sepertinya ada kesan tidak peduli dari para pembuat sinetron atas penampilan karakter perempuan yang positif. Mungkin bagi mereka sinetron adalah barang dagangan, karena itu dibuat dengan biaya semurah mungkin, harus laku dijual, dan tidak peduli dengan segi artistik dan alur cerita. Dan yang kelihatannya cukup laku adalah adegan-adegan yang bisa membuat perempuan haru dan menitikkan air mata seperti kejamnya ibu tiri, sadisnya majikan perempuan terhadap pembantu, ibu yang menelantarkan anaknya dan sebagainya. Sementara itu laki-laki lebih menyukai adegan buka-bukaan dari tubuh perempuan.
Ketimpangan
Gender dalam Sinetron
DALAM keseharian, seringkali gender dan seks dimaknai oleh
sebagian orang sebagai hal yang sama. Padahal, sesungguhnya keduanya adalah hal
yang berbeda. Gender lebih mengacu pada identitas kultural yang melekat pada
satu jenis kelamin tertentu. Sedangkan seks lebih mengacu pada identitas jenis
kelamin secara biologis (Suhendar, 2004). Orang yang berjenis kelamin, secara
biologis memiliki konsekuensi kodrati. Contohnya, orang disebut perempuan
karena akan memikul konsekuensi kodrati dari jenis kelamin yang disandangnya.
Seorang perempuan mau tidak mau akan menjalankan fungsi-fungsi seks yang tidak
dijalankan oleh laki-laki, seperti melahirkan, menyusui, dan berbagai aktivitas
keperempuanannya yang bersifat alamiah. Perbedaan jenis kelamin secara biologis
seringkali membuat salah satu pihak diperlakukan tidak adil dalam ruang sosial.
Perempuan dengan berbagai aspek-aspek kodratinya selalu diposisikan dalam ruang
privat atau ranah domestik.
Sedangkan
lelaki diposisikan dalam ruang publik.
Perbedaan posisi semacam ini telah menyebabkan tumbuhnya
nilai di masyarakat bahwa salah satu jenis kelamin yang berperan dalam ruang
publik statusnya adalah sebagai warga negara kelas satu, sedangkan yang
berperan dalam ruang privat statusnya merupakan warga negara kelas dua.
Pengidentifikasian semacam ini sesungguhnya adalah praktik dari ketidakadilan
gender, seolah-olah perempuan yang mengurus rumah tangga diasumsikan tidak
mampu mengurusi persoalan-persoalan di ruang publik yang menyangkut hajat hidup
orang banyak. Padahal, bukan tidak mungkin perempuan pun memiliki kemampuan
untuk mengaktualisasikan dirinya di ruang publik sebagaimana halnya laki-laki.
Persoalannya kemudian, adalah wacana publik dan berbagai otoritas kuasa yang
mampu mengkontruksi nilai-nilai sosial hampir seluruhnya dikuasai oleh
laki-laki, sehingga nilai yang kemudian berkembang di masyarakat dan hampir
menjadi "kebenaran sosial" adalah nilai yang cenderung bias
laki-laki. Program televisi yang turut menghadirkan ketimpangan antara
laki-laki dan perempuan terlihat sekali dalam produk sinema sinetron. Sebuah
penelitian sederhana dengan cara mengamati produk sinetron yang diproduksi
production house ternama pada tahun 2000 mencatat sekitar 85 persen memojokkan
perempuan. Dalam kebanyakan sinetron lebih banyak memberi gambaran perempuan
yang hanya berkutat di dapur, kasur, dan ruang keluarga. Aktivitas, karir, dan
prestasi perempuan hanya ada di awal cerita – itu pun kalau ada – selebihnya
perempuan berkutat dengan berbagai kesedihan hidup yang akhirnya jatuh
kepangkuan laki-laki yang diposisikan sebagai ‘dewa penyelamat’. Ini jelas
tidak adil. Harus ada keberanian dari para sineas dan pengelola televisi untuk
membalikkan ketidakadilan tersebut. Kendati orang tahu bahwa sinetron bukan
realitas masyarakat Indonesia sehari-hari. akibat politik kebudayaan orde baru
yang menganggap perempuan sebagai kelas nomor dua dan kelas di bawah laki-laki.
Dalam ranah politik pun,
perempuan kerap menjadi korban kekerasan. Namun sinetron adalah realitas jiwa
dan khayalan masyarakat Indonesia umumnya yang suka bermimpi untuk melarikan
diri dari penderitaan dan kemiskinan (kerjabudaya, 2003).
Perempuan di masyarakat-masyarakat pascakolonial mengusung beban
ganda karena tersubordinasi oleh kolonialisme sekaligus kaum laki-laki
pribuminya. Meski demikian, ada kemungkinan untuk menggoyang stabilitas
representasi-representasi tubuh yang terkelaminkan ini, karena meski sinema
memang mengkonstruksi posisi subjek, bukan berarti semua lelaki atau perempuan
mengambil posisi-posisi yang ditawarkan. Kajian-kajian resepsi menekankan pada
negosiasi yang terjadi antara subjek dengan sinema, termasuk kemungkinan
melakukan resistensi terhadap makna peran. Kajian-kajian inilah yang sering
merayakan nilai-nilai dan budaya menonton perempuan dalam sinetron. Perempuan
di Indonesia, diakui memang mengalami penindasan kultural dan struktural. IniBegitu
juga dalam dunia lainnya, ekonomi, industri, dan dunia hiburan, perempuan tak
lebih dianggap sebagai pelengkap. kemampuan supra-natural. Tetapi tentang dunia
perempuan (kebanyakan) itu sendiri.
Ini jelas Kita masih dapat melihat kesatiran hidup para
buruh perempuan, bahkan dalam diri Marsinah, yang tewas mengenaskan. Para buruh
perempuan, yang kerap mendapat umpatan, cacian makian, upah rendah, dan
terkadang, ancaman kekerasan dan pelecehan seksual.
Raja (2003), seorang pegiat komunitas perfilman, membayangkan betapa menariknya, jika ada sinetron yang mengangkat realitas perempuan Indonesia, terutama penindasan, ketidakadilan, perjuangan, dan peranan perempuan. Bukan sekedar mengangkat perempuan pekerja kelas atas dalam sinetron-sinetron Indonesia, atau anak perempuan yang gaul, kenes, dan atau punya sangat menarik untuk diangkat. Perjuangan penari-penari tradisional di jalan-jalan ibukota yang mencari nafkah untuk keluarga, kisah para mbok bakul di pasar Kebayoran Lama, kisah para nelayan di Cilincing, kisah para buruh perempuan di Tangerang, kisah ibu-ibu rumah tangga yang kerap mendapat kekerasan rumah tangga, kisah perempuan malam, yang dianggap sampah masyarakat karena bekerja di malam hari, dan kisah-kisah perempuan yang selama ini tak diperlihatkan dalam layar televisi kita. Tapi apa yang terjadi? Bias gender justru kerap kali hadir di sejumlah tayangan TV. Dalam tayangan sinetron, umumnya kehidupan perempuan "dipotret" hanya sebatas pada peran-peran domestik (rumah tangga) atau individu yang tidak lebih pintar dari laki-laki, yang posisinya hanya menjadi pelayan laki-laki, serta berbagai stereotip yang mengarahkan bahwa perempuan adalah jenis kelamin yang tidak qualifide untuk masuk dalam ruang publik. Sinetron-sinetron yang ada jarang yang menampilkan perempuan sebagai sosok pengambil keputusan dalam berbagai kebijakan publik, perempuan masih dianggap sebagai peran pembantu dalam kehidupan publik.
Raja (2003), seorang pegiat komunitas perfilman, membayangkan betapa menariknya, jika ada sinetron yang mengangkat realitas perempuan Indonesia, terutama penindasan, ketidakadilan, perjuangan, dan peranan perempuan. Bukan sekedar mengangkat perempuan pekerja kelas atas dalam sinetron-sinetron Indonesia, atau anak perempuan yang gaul, kenes, dan atau punya sangat menarik untuk diangkat. Perjuangan penari-penari tradisional di jalan-jalan ibukota yang mencari nafkah untuk keluarga, kisah para mbok bakul di pasar Kebayoran Lama, kisah para nelayan di Cilincing, kisah para buruh perempuan di Tangerang, kisah ibu-ibu rumah tangga yang kerap mendapat kekerasan rumah tangga, kisah perempuan malam, yang dianggap sampah masyarakat karena bekerja di malam hari, dan kisah-kisah perempuan yang selama ini tak diperlihatkan dalam layar televisi kita. Tapi apa yang terjadi? Bias gender justru kerap kali hadir di sejumlah tayangan TV. Dalam tayangan sinetron, umumnya kehidupan perempuan "dipotret" hanya sebatas pada peran-peran domestik (rumah tangga) atau individu yang tidak lebih pintar dari laki-laki, yang posisinya hanya menjadi pelayan laki-laki, serta berbagai stereotip yang mengarahkan bahwa perempuan adalah jenis kelamin yang tidak qualifide untuk masuk dalam ruang publik. Sinetron-sinetron yang ada jarang yang menampilkan perempuan sebagai sosok pengambil keputusan dalam berbagai kebijakan publik, perempuan masih dianggap sebagai peran pembantu dalam kehidupan publik.
Misalnya, dalam sebuah sinetron seorang perempuan seringkali
ditampilkan sebagai sekretaris dan jarang yang ditampilkan sebagai direktris
atau pemimpin sebuah lembaga publik. Padahal dikatakan Aripurnami dalam
Oey-Gardiner (1996) persolan seperti ini adalah seolah-olah pandangan mengenai
perempuan hanya satu dan itu dibayangkan berlaku tunggal. Sementara dalam
kenyataan sehari-hari kita bisa lihat bahwa gambaran tentang perempuan amat
beragam dan terkait dalam lingkup yang lebih luas. Dalam kenyataanya, sering
ditemui perempuan yang terlibat dalam pasar kerja, sebaliknya kita juga dapat
melihat bahwa laki-laki tidak hanya melakukan pekerjaan di lingkup publik.
diakses tanggal 17 Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar