Share this history on :

tab

SAYA MUKHAMMAD JEFRY MENGUCAPKAN TERIMAKSIH ATAS KUNJUNGAN ANDA

Jumat, 14 Oktober 2011

Perempuan dalam Sinetron:



Stereotipe, Diskriminasi, dan Ketimpangan Gender
Stereotipe Gender dalam Sinetron

Stereotipe adalah citra yang melekat atas sekelompok orang. Kita semua mempunyai stereotipe atitudinal ––tentang kelompok bangsa, kelompok agama, kelompok ras, atau barangkali tentang kaum penjahat, kaum tuna susila, guru, atau tukang pipa. Jika kita memiliki kesan melekat ini, kita seringkali, bila berjumpa dengan salah seorang anggota kelompok tadi, melihat orang itu terutama sebagai anggota kelompok tersebut. Sebagai permulaan, ini mungkin memberikan orientasi yang membantu. Tetapi, ini dapat menimbulkan masalah bila kita kemudian menganggap semua karakteristik yang melekat pada kelompok itu berlaku juga untuk orang itu tanpa menyadari bahwa setiap orang adalah pribadi yang khas (De Vito, 1996).

Stereotipe negatif sangat terlihat dalam perfilman kita. Karena kebanyakan sinema kita merupakan pengabdian atau reproduksi dari penstereotipan kaum pria terhadap peran tradisional kaum wanita. Pria dan wanita digambarkan sebagai sesuatu yang mempunyai kegiatan yang berbeda dan memutuskan hal-hal yang berbeda pula. Wanita digambarkan sebagai manusia yang selalu peduli dengan rumah tangga dan penampilan fisik mereka, sementara kepedulian pria adalah pekerjaan, bisnis, dan sebagainya. Bahkan dalam beberapa sinema perempuan juga digambarkan sebagai sosok yang jahat, bengis dan jauh dari kelembutan.

Belakangan ini muncul stereotipe wanita dalam sinetron sebagai mahluk yang judes dan sadis terutama pada tayangan-tayangan yang menunjukkan hedonisme. Stereotipe tersebut dapat di lihat dalam hampir semua sinetron yang mempunyai jam tayang utama. Mulai seorang ibu yang jahat terhadap anaknya hingga remaja perempuan yang egois, judes dan licik. Bahkan peran pembantu perempuan yang dulunya banyak digambarkan sebagai perempuan penurut terhadap majikan, kini banyak digambarkan sebagai perempuan yang licik, jahat, bersekongkol dengan majikan untuk menyakiti perempuan lain. Bentuk komunikasi verbal dan nonverbal yang  dihadirkan sinetron semakin mempertegas stereotipe ini. Dalam berbagai sinetron, cerita-cerita disajikan dalam kerangka besar yang sama; tentang cinta dan persoalan keluarga, dengan plot yang berliku-liku. Para tokoh dalam sinetron dianggap mewakili impian kaum perempuan terutama para ibu rumah tangga karena mereka selalu ditampilkan dalam keadaan cantik, dengan busana yang indah-indah, dalam rumah-rumah yang megah. Artinya, ketertarikan terhadap sinetron disebabkan karena konstruksi-konstruksi atas citra perempuan yang ditampilkan, yaitu cantik, kaya dan hidup bahagia. Dari melodrama ini para penonton belajar bahwa kecantikan feminin bukanlah sesuatu yang melekat sejak lahir, melainkan bisa diraih. Pada akhirnya, dengan konstruksi yang diciptakan tersebut, perempuan justru menemukan ruang untuk melihat feminitas sebagai sebentuk identitas yang terus berubah (shifting identity), bisa dilekatkan dan dilepaskan kapan saja mereka menginginkannya.  Perempuan, melalui penampilan mewah sinetron juga mendapatkan kesempatan untuk merasakan aktivitas dan kompetensi konsumsi yang eksklusif.

Kemudian, pada beberapa kasus, terlihat kecenderungan bahwa ada efek sinetron yang ditampilkan secara berlebihan untuk lebih bisa memancing emosi para penonton (misalnya adegan sadis dan kejam yang dilakukan oleh ibu mertua kepada menantu perempuannya). Adegan-adegan ini ditampilkan dengan asumsi bahwa perempuan—yang dilekatkan dengan stereotip emosional—suka dengan adegan-adegan yang melankolis.
Tema seksualitas perempuan juga bukan hal baru di dalam dunia film. Kisah pelacuran dan perdagangan perempuan sebenarnya sudah muncul dalam perfilman Indonesia sejak beberapa dekade lalu. Namun kini hal itu justru menjadi suatu ikon satu paket dengan berbagai sifat buruk perempuan yang muncul di layar kaca. Pilihan seksualitas telah lama menjadi kajian para pemikir karena seksualitas berhubungan dengan identitas individu dan bagaimana masyarakat menerima anggotanya. Masyarakat cenderung menundukkan anggotanya agar patuh pada norma-norma yang terbentuk di masyarakat melalui sanksi sosial yang berhubungan dengan suatu tindakan anggota masyarakat yang dipandang menyimpang dari yang umum.

Maka muncullah sinetron “Bunga Malam”, “Kupu-kupu Malam” dan sebagainya. Seksualitas remaja perempuan sebagai akibat dari konstruksi budaya modern telah memunculkan beragam pandangan, terutama terhadap remaja perempuan ibu kota. Tapi dalam beberapa sinetron, hal ini sepertinya merupakan sesuatu yang lumrah. Lagi-lagi kebanyakan perempuan tetap menjadi korban, sebagai pihak yang hamil, dan kemudian menerima berbagai konsekuensi dari konstruksi sosial yang dibangun berdasarkan liberalisme kehidupan maka kini.

Dalam kajian budaya, seks dan gender dilihat sebagai konstruksi-konstruksi sosial yang secara intrinsik terimplikasi dalam persoalan-persoalan representasi. Seks dan gender lebih merupakan persoalan kultural ketimbang alam. Meski ada juga pemikiran feminis yang menekankan pada perbedaan esensial antara laki-laki dan perempuan, kajian budaya cenderung mengeksplorasi gagasan tentang karakter identitas seksual yang spesifik secara historis, tidak stabil, plastis dan bisa berubah.  Tapi bukan berarti kita bisa dengan gampang membuang identitas seksual kita dan menggantinya dengan yang lain, karena meskipun seks adalah suatu konstruksi sosial, ia adalah konstruksi sosial yang mengkonstitusi kita melalui tekanan-tekanan kekuasaan dan identifikasi-identifikasi dalam psikis kita. Dengan kata lain, konstruksi sosial adalah sesuatu yang diregulasi dan memiliki konsekuensi (Kunci, 2005).
 Karena identitas seksual dipandang bukan merupakan masalah esensi biologis yang universal melainkan persoalan bagaimana feminitas dan maskulinitas dibicarakan, maka feminisme dan kajian budaya seharusnya memberi perhatian pada masalah-masalah seks dan representasi. Umpamanya, kajian budaya telah mempelajari representasi perempuan dalam budaya populer dan dalam sinetron, dan mendapatkan bahwa perempuan di seluruh dunia terkonstitusi sebagai kelamin yang kedua, tersubordinasi di bawah lelaki. Dengan kata lain, posisi-posisi subjek yang dikonstruksi untuk perempuan yang menempatkan mereka dalam tatanan kerja patriarkis domestifikasi dan beautification atau tatanan kerja yang menjadikan mereka sebagai ibu dan berkarir serta mampu mengeksplorasi individualitasnya dan tampil menarik.

Bila kita rajin melihat tayangan televisi pada jam malam, maka akan terlihat sekali betapa eksploitasi tubuh perempuan masih menjadi komoditas penting dalam perfilman kita. Namun belakangan ini dikemas dalam bentuk komedi sebagai kedok atas seksualitas yang ditonjolkan. Melihat tayangan-tayangan tersebut sebenarnya penonton tidak diajak untuk tertawa, melainkan bagaimana menikmati tubuh perempuan-perempuan yang menjadi pemeran dalam sinetron tersebut. Komedi “Ayam Jago” di Lativi, Komedi Tengah Malam di Trans TV yang terbagi dalam beberapa bagian seperti “Ratu Rimba”, “Penjaga Pantai”, “Angels” adalah beberapa contoh yang mungkin layak dikaji kekomediannya.  Alih-alih ingin membuat penonton tertawa, tetapi justru membuat jantung penonton (laki-laki) mungkin berdebar-debar menyaksikan komedi (komersialisasi bodi) dalam tayangan tersebut.
Belakangan ini seiring dengan membludaknya sinetron-sinetron mistik di televisi, lagi-lagi perempuan menjadi ikon negatif dalam tayangan mistik. Maka muncullah stereotipe bahwa kebanyakan mahluk-mahluk halus jahat seperti jin dan setan kebanyakan berjenis kelamin perempuan. Mitos Nyi Roro Kidul dan Nyi Blorong sebagai sosok “perempuan” dari alam gaib yang sudah terpatri di benak masyarakat Indonesia (Jawa) sejak berabad-abad silam sepertinya mendasari munculnya siluman perempuan baru belakangan ini. Maka muncullah stereotipe bahwa perempuan selain judes, jahat, cerewet, licik, ngeseks, buka-bukakan, juga sebagai makhluk yang gila pujaan.  
Di sini pujaan digambarkan secara lebih ekstrem dalam tayangan mistik, karena lebih kepada pujaan berupa materi atau persembahan. Ini adalah realitas, dan sudah menjadi sebuah stereotipe di kalangan penggemar sinetron. Stereotipe perempuan yang jelas (yang dibuat laki-laki) menjadikan tayangan perempuan dalam sinetron yang ditampilkan sekarang inipun bisa dikatakan belum mendidik masyarakat dan belum bisa menjadi tuntunan. Pasalnya, perempuan dalam sinetron masih menjadi objek dan laki-lakilah yang kemudian mengkonstruksinya menjadi stereotype 

Diskriminasi Gender dalam Sinetron

Dari kajian yang pernah ada tentang film-film yang diproduksi pada masa sebelum tahun 1970-an itu tampaknya peran perempuan digambarkan hanya sebagai pelengkap dalam keseluruhan cerita. Kalaupun peran perempuan menjadi peran utama, peran itu berkaitan dengan pandangan bahwa posisi perempuan ada di lingkup domestik, sebagai ibu, istri, kekasih atau anak perempuan yang penurut. Sebaliknya, pada laki-laki peran yang ditampilkan selalu berkaitan dengan aktivitas di lingkup publik, pengambil dan penghasil keputusan yang masuk akal. Kelas sosial menyebabkan perbedaan masalah dan strategi perempuan menghadapi hidup. Meskipun perempuan kelas menengah juga mengalami subordinasi dari laki-laki pada kelas sosial yang sama, perempuan kelas sosial yang lebih bawah bisa mengalami subordinasi dari perempuan kelas sosial yang lebih tinggi dan laki-laki dari kelas sosial yang sama dengan dia. Contoh paling dekat dengan kita adalah para pekerja rumah tangga (Aripurnami dalam Oey-Gardiner, 1996).


Meskipun hampir setiap sinetron menyatakan bahwa kisah yang disajikan hanyalah fiksi belaka. Tapi tak terlalu sulit kiranya bagi penonton untuk melihat bahwa konflik yang diangkat dalam cerita tersebut, disadari atau tidak, banyak bersumber pada berbagai peristiwa konkrit dalam kehidupan sehari-hari. Seperti, perceraian, pelecehan seksual, jatuh cinta, hingga pembunuhan, manipulasi dan korupsi, ketidakadilan dalam sistem hukum, penindasan kelas buruh dan sebagainya.

Dipandang dari sisi lain, persoalan-persoalan konkrit di masyarakat memang tetap menyelinap dalam jalinan cerita-cerita sinetron. Tak perduli dengan tujuan sang penulis skenario, misalnya, yang secara sadar hendak menciptakan karya fiksi. Namun sinetron bukan semata-mata cermin dari persoalan tersebut. Sinetron bukan pula merupakan realitas kedua setelah apa yang disebut dengan realitas pertama, yakni peristiwa di masyarakat itu sendiri, berlangsung. Sebaliknya, persinggungan jalinan kisah sinetron dengan peristiwa konkrit kehidupan sehari-hari, membuka jalan yang lebih lebar bagi sosialisasi nilai-nilai dominan. Menjadi jelaslah bahwa sinetron bukan bagian dari realitas masyarakat itu sendiri.
Yakni ketika kita sadari bahwa langsung atau tidak langsung, sinetron telah ikut membentuk pola pikir masyarakat. Berbagai citra ideal tentang sosok perempuan – bertanggung jawab dalam urusan domestik, pengutamaan sifat keibuan, tawakal dan pasrah pada keadaan, hingga mengakui keunggulan laki-laki sebagai kodrat – seperti diusung oleh alur cerita sinetron tersebut, merupakan turunan dari nilai-nilai patriarki yang mau mengatakan bahwa pada dasarnya dunia ini adalah milik laki-laki.
Lalu kenapa perempuan kabanyakan menjadi tokoh utama dalam sinetron Indonesia? Kesan selintas disebutkan bahwa peminat terbanyak sinetron Indonesia adalah perempuan. Walaupun kisah dalam sinetron adalah rekaan atau fiktif, namun hal itu mencerminkan serpihan-serpihan gambaran sebuah realitas hidup. Untuk memperoleh citra utuh sebuah realitas, maka tugas penonton untuk menyatukan serpihan tersebut. Persoalannya, tidak semua penonton mempunyai bakat khusus menyatukan berbagai serpihan tadi. Sejumlah sinetron kerap menampilkan perempuan sebagai sosok yang bermakna negatif. Dari kebanyakan sinetron, perempuan memang tampil sebagai profil yang buruk: perempuan penggoda, istri yang merangsang suaminya untuk korupsi, remaja puteri yang menjadi perek (perempuan eksperimen) karena broken home, mertua nyinyir yang membuat menantunya menderita, ibu kandung cerewet yang membuat anaknya menjadi beradalan di luar rumah, dan seterusnya.


Tetapi itulah kenyataan sinetron kita dalam menggambarkan perempuan, selalu saja terlunta-lunta, tidak berdaya dan dipermainkan nasib. Seolah perempuan Indonesia ini begitu bodoh, tidak mampu berbuat apapun dan kemudian ‘diperparah’ dengan haus harta (yang digambarkan dengan perebutan).
Itulah gambaran buram perempuan dalam sinetron, termasuk yang bernuansa relijius sekalipun. Karena perempuan selalu digambarkan stereotipe dan dalam nuansa ekstrim baik kanan (untuk menggambarkan perempuan hebat namun kebablasan dalam bersikap baik kepada laki-laki ataupun pada perempuan) atau kiri (perempuan yang bodoh, naif dan sangat tidak berdaya). Mungkinkah kisah ini yang laku dan mendapat rating tinggi? Pertanyaan itu muncul dalam benak sejumlah pemerhati persinemaan kita.
Pertanyaan yang wajar dilontarkan, karena pengelola televisi memang selalu berkilah demikian. Karenanya sekalipun seringkali mengundang kritik toh dalam kenyataan cerita-cerita dengan alur demikian yang dibuat dan ditayangkan.Tetapi kalau dirunut lebih jauh, apakah fakta ini bukan lebih tepat jika disebut sebagai akibat kultur patriarkhi yang masih membingkai sebagian besar benak masyarakat kita terlebih para pembuat sinetron yang mewarnai kisah-kisah tersebut. Mulai penulis skenario, sutradara dan juga sangat mungkin pemainnya yang belum bisa kritis memilih peran karena memang belum tahu bila sebagai perempuan seharusnya ia menunjukkan keberdayaan, kemandiriannya?
Di satu sisi perempuan dianggap sebagai istri dan ibu, yang kemudian diartikan sebagai orang rumahan, sehingga bila mereka mencari nafkah, hanya dianggap sebagai penambah pendapatan keluarga. Perempuan juga dipandang hanya bisa menangis, terlalu banyak bicara dan kurang panjang akal. Di sisi lain laki-laki dianggap sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah serta pengambil keputusan. Oleh karenanya laki-laki selalu dianggap orang yang panjang akal, tenang dalam menghadapi masalah, tegar dan tidak menangis. Gambaran mengenai perempuan dan laki-laki dalam sinetron Indonesia akan tetap sama sebagaimana yang dapat kita lihat selama ini pada sebagian besar sinetron yang tiap malam menghiasi layar kaca kita.

Sepertinya ada kesan tidak peduli dari para pembuat sinetron atas penampilan karakter perempuan yang positif. Mungkin bagi mereka sinetron adalah barang dagangan, karena itu dibuat dengan biaya semurah mungkin, harus laku dijual, dan tidak peduli dengan segi artistik dan alur cerita. Dan yang kelihatannya cukup laku adalah adegan-adegan yang bisa membuat perempuan haru dan menitikkan air mata seperti kejamnya ibu tiri, sadisnya majikan perempuan terhadap pembantu, ibu yang menelantarkan anaknya dan sebagainya. Sementara itu laki-laki lebih menyukai adegan buka-bukaan dari tubuh perempuan.

Ketimpangan Gender dalam Sinetron

DALAM keseharian, seringkali gender dan seks dimaknai oleh sebagian orang sebagai hal yang sama. Padahal, sesungguhnya keduanya adalah hal yang berbeda. Gender lebih mengacu pada identitas kultural yang melekat pada satu jenis kelamin tertentu. Sedangkan seks lebih mengacu pada identitas jenis kelamin secara biologis (Suhendar, 2004). Orang yang berjenis kelamin, secara biologis memiliki konsekuensi kodrati. Contohnya, orang disebut perempuan karena akan memikul konsekuensi kodrati dari jenis kelamin yang disandangnya. Seorang perempuan mau tidak mau akan menjalankan fungsi-fungsi seks yang tidak dijalankan oleh laki-laki, seperti melahirkan, menyusui, dan berbagai aktivitas keperempuanannya yang bersifat alamiah. Perbedaan jenis kelamin secara biologis seringkali membuat salah satu pihak diperlakukan tidak adil dalam ruang sosial. Perempuan dengan berbagai aspek-aspek kodratinya selalu diposisikan dalam ruang privat atau ranah domestik.  

Sedangkan lelaki diposisikan dalam ruang publik.

Perbedaan posisi semacam ini telah menyebabkan tumbuhnya nilai di masyarakat bahwa salah satu jenis kelamin yang berperan dalam ruang publik statusnya adalah sebagai warga negara kelas satu, sedangkan yang berperan dalam ruang privat statusnya merupakan warga negara kelas dua. Pengidentifikasian semacam ini sesungguhnya adalah praktik dari ketidakadilan gender, seolah-olah perempuan yang mengurus rumah tangga diasumsikan tidak mampu mengurusi persoalan-persoalan di ruang publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Padahal, bukan tidak mungkin perempuan pun memiliki kemampuan untuk mengaktualisasikan dirinya di ruang publik sebagaimana halnya laki-laki. Persoalannya kemudian, adalah wacana publik dan berbagai otoritas kuasa yang mampu mengkontruksi nilai-nilai sosial hampir seluruhnya dikuasai oleh laki-laki, sehingga nilai yang kemudian berkembang di masyarakat dan hampir menjadi "kebenaran sosial" adalah nilai yang cenderung bias laki-laki. Program televisi yang turut menghadirkan ketimpangan antara laki-laki dan perempuan terlihat sekali dalam produk sinema sinetron. Sebuah penelitian sederhana dengan cara mengamati produk sinetron yang diproduksi production house ternama pada tahun 2000 mencatat sekitar 85 persen memojokkan perempuan. Dalam kebanyakan sinetron lebih banyak memberi gambaran perempuan yang hanya berkutat di dapur, kasur, dan ruang keluarga. Aktivitas, karir, dan prestasi perempuan hanya ada di awal cerita – itu pun kalau ada – selebihnya perempuan berkutat dengan berbagai kesedihan hidup yang akhirnya jatuh kepangkuan laki-laki yang diposisikan sebagai ‘dewa penyelamat’. Ini jelas tidak adil. Harus ada keberanian dari para sineas dan pengelola televisi untuk membalikkan ketidakadilan tersebut. Kendati orang tahu bahwa sinetron bukan realitas masyarakat Indonesia sehari-hari. akibat politik kebudayaan orde baru yang menganggap perempuan sebagai kelas nomor dua dan kelas di bawah laki-laki. Dalam ranah politik pun, perempuan kerap menjadi korban kekerasan. Namun sinetron adalah realitas jiwa dan khayalan masyarakat Indonesia umumnya yang suka bermimpi untuk melarikan diri dari penderitaan dan kemiskinan (kerjabudaya, 2003).
Perempuan di masyarakat-masyarakat pascakolonial mengusung beban ganda karena tersubordinasi oleh kolonialisme sekaligus kaum laki-laki pribuminya. Meski demikian, ada kemungkinan untuk menggoyang stabilitas representasi-representasi tubuh yang terkelaminkan ini, karena meski sinema memang mengkonstruksi posisi subjek, bukan berarti semua lelaki atau perempuan mengambil posisi-posisi yang ditawarkan. Kajian-kajian resepsi menekankan pada negosiasi yang terjadi antara subjek dengan sinema, termasuk kemungkinan melakukan resistensi terhadap makna peran. Kajian-kajian inilah yang sering merayakan nilai-nilai dan budaya menonton perempuan dalam sinetron. Perempuan di Indonesia, diakui memang mengalami penindasan kultural dan struktural. IniBegitu juga dalam dunia lainnya, ekonomi, industri, dan dunia hiburan, perempuan tak lebih dianggap sebagai pelengkap. kemampuan supra-natural. Tetapi tentang dunia perempuan (kebanyakan) itu sendiri.
Ini jelas Kita masih dapat melihat kesatiran hidup para buruh perempuan, bahkan dalam diri Marsinah, yang tewas mengenaskan. Para buruh perempuan, yang kerap mendapat umpatan, cacian makian, upah rendah, dan terkadang, ancaman kekerasan dan pelecehan seksual.

Raja (2003), seorang pegiat komunitas perfilman, membayangkan betapa menariknya, jika ada sinetron yang mengangkat realitas perempuan Indonesia, terutama penindasan, ketidakadilan, perjuangan, dan peranan perempuan. Bukan sekedar mengangkat perempuan pekerja kelas atas dalam sinetron-sinetron Indonesia, atau anak perempuan yang gaul, kenes, dan atau punya sangat menarik untuk diangkat. Perjuangan penari-penari tradisional di jalan-jalan ibukota yang mencari nafkah untuk keluarga, kisah para mbok bakul di pasar Kebayoran Lama, kisah para nelayan di Cilincing, kisah para buruh perempuan di Tangerang, kisah ibu-ibu rumah tangga yang kerap mendapat kekerasan rumah tangga, kisah perempuan malam, yang dianggap sampah masyarakat karena bekerja di malam hari, dan kisah-kisah perempuan yang selama ini tak diperlihatkan dalam layar televisi kita. Tapi apa yang terjadi? Bias gender justru kerap kali hadir di sejumlah tayangan TV. Dalam tayangan sinetron, umumnya kehidupan perempuan "dipotret" hanya sebatas pada peran-peran domestik (rumah tangga) atau individu yang tidak lebih pintar dari laki-laki, yang posisinya hanya menjadi pelayan laki-laki, serta berbagai stereotip yang mengarahkan bahwa perempuan adalah jenis kelamin yang tidak qualifide untuk masuk dalam ruang publik. Sinetron-sinetron yang ada jarang yang menampilkan perempuan sebagai sosok pengambil keputusan dalam berbagai kebijakan publik, perempuan masih dianggap sebagai peran pembantu dalam kehidupan publik.

Misalnya, dalam sebuah sinetron seorang perempuan seringkali ditampilkan sebagai sekretaris dan jarang yang ditampilkan sebagai direktris atau pemimpin sebuah lembaga publik. Padahal dikatakan Aripurnami dalam Oey-Gardiner (1996) persolan seperti ini adalah seolah-olah pandangan mengenai perempuan hanya satu dan itu dibayangkan berlaku tunggal. Sementara dalam kenyataan sehari-hari kita bisa lihat bahwa gambaran tentang perempuan amat beragam dan terkait dalam lingkup yang lebih luas. Dalam kenyataanya, sering ditemui perempuan yang terlibat dalam pasar kerja, sebaliknya kita juga dapat melihat bahwa laki-laki tidak hanya melakukan pekerjaan di lingkup publik.


diakses tanggal 17 Maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Cari Blog Ini


welcome

welcome